OPINI
Indonesia Sejahtera dengan Demokrasi Anti Korupsi
INDONESIA? Itu adalah sebuah negara, negara besar dengan jumlah penduduknya. Sebenarnya tidak hanya besar dalam hal itu, tapi jika mau dibahas status kebesaran yang lain juga cukup banyak. Seperti besar negaranya, besar SDAnya, besar impornya, besar TKWnya, yang paling penting dan menjadi masalah utama banyaknya terlahir koruptor.
Tinggal
beberapa minggu lagi, gendang pesta demokrasi Eksekutif 2014 bakal ditabuh.
Masing-masing dari mereka sudah siap bersaing memperebutkan tampuk kekuasaan
sebagai kepala negra dan wakilnya. Persaingan politik pun sudah gencar
dimainkan. Tujuannya, agar keikutsertaan mereka tidak cuma numpang lewat,
masing-masing dari mereka punya tekad ingin memenangkan Pemilu 2014.
Iklim kompetisi sudah terasa. Masing-masing parpol sudah
saling berpacu mencari amunisi dukungan. Sejumlah parpol bahkan sudah
mengantongi nama untuk diusung menjadi calon presiden pada Pemilu 2014 nanti.
Taktik dan strategi pun disiapkan jauh-jauh hari demi memenangkan capres
usungannya. Mulai dari pemasangan banner, blusukan ke kampung-kampung hingga
iklan politik terselubung di berbagai media.
Pertanyaannya, akankah pemilu 2014 menghasilkan
pemimpin-pemimpin yang bersih dari korupsi? Akankah pascapemilu Indonesia bebas
korupsi? Ataukah sebaliknya, praktik korupsi justru semakin menjamur
pascapemilu 2014 ini? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang muncul dibenak
masyarakat menjelang pesta akbar pemilu 2014. Harus diakui, beberapa tahun
belakangan, praktik korupsi di Indonesia seakan beranak-pinak. Jumlahnya terus
meningkat dan semakin merajalela. Praktiknya pun semakin sistematis sehingga
sulit sekali terjamah oleh hukum. Bahkan, tak tanggung-tanggung, sebagian besar
korupsi dipraktikkan secara berjamaah dengan tujuan memperoleh hasil yang
banyak.
Lihat saja, betapa banyak kasus korupsi yang terungkap
beberapa tahun ini. Dari kasus Wisma Atlet dan Hambalang, korupsi dana
pengadaan Al-Qur’an di Kemenag, kasus korupsi dana pengadaan simulator SIM di
Korlantas Polri, kasus kuota impor daging di Kemenag, korupsi dana pendidikan
di Kemendikbud hingga kasus suap hakim Mahkamah Konstitusi yang baru saja
terjadi.
Persoalan korupsi di Indonesia memang sudah masuk tingkat
akut dan nyaris menjadi hal yang biasa. Korupsi seakan telah menjadi persoalan
struktural, kultural dan personal. Persoalan struktural karena telah melekat
pada seluruh sistem pemerintahan, dari eksekutif, legislatif hingga yudikatif.
Persoalan kultural karena praktik korupsi telah diterima menjadi kebiasaan
dalam masyarakat dewasa ini. Sedangkan persoalan personal karena mentalitas
korupsi telah menyatu dalam kepribadian orang Indonesia pada umumnya.
Korupsi memang sudah menjadi budaya dalam negeri
ini. Budaya korupsi di Indonesia telah berlangsung lama yang berakar dari
budaya memberi upeti. Budaya memberi upeti yang dikenal dengan
sebutan korupsi semakin marak diamalkan oleh bangsa Indonesia pada saat
mulai melaksanakan pembangunan di masa Orde Baru yang berlangsung selama 32
tahun lamanya, yang kemudian dilanjutkan di era Orde Reformasi selama 15 tahun.
Di masa Orde Baru korupsi terjadi melalui persekonkolan penguasa,
birokrat dan pebisnis. Di era Orde Reformasi ditambah persekongkolan politisi,
pebisnis, penguasa serta rakyat.
Menurut data Transparency International (TI), sejak tahun
1995 – 2011 Indonesia selalu ditempatkan sebagai negara terkorup. Begitupun
hasil survie TI tahun 2012 mencatat, indeks korupsi Indonesia bercokol di
urutan 118 dari 176 negara. Sementara pada tingkat ASEAN, peringkat korupsi
Indonesia masih jauh di bawah Singapura (peringkat 5), Brunei Darussalam (46),
Malaysia (54) dan Thailand (8).
Fakta di atas seakan menampar kesadaran kita, betapa korupsi
di Indonesia sudah kronis. Bahkan dari kasus-kasus korupsi yang terungkap kita
menyaksikan, korupsi sudah membabat seluruh elemen pemerintahan. Mulai dari
kasus korupsi yang melibatkan birokrat, wakil rakyat hingga yang menyeret
hakim-hakim lembaga hukum. Kasus suap yang melibatkan ketua MK, Akil Mochtar,
adalah bukti nyata kalau virus korupsi sudah menodai lembaga yudikatif.
Banyaknya koruptor dan jumlah uang yang dikorupsi pun seolah
berjalan beriringan. Negara yang tadinya merugi jutaan rupiah, sekarang negara
bisa merugi hingga miliaran bahkan triliunan rupiah. Hasil riset Penelitian dan
Pelatihan Ekonomika dan Bisnis UGM yang didasari dari data putusan korupsi
Mahkamah Agung sepanjang 2001 – 2012 memperlihatkan, total dana yang dikorupsi
mencapai Rp.168,19 triliun. Angka yang sangat besar, terutama kalau
dibandingkan dengan penghasilan masyarakat kita sehari-hari.
Begitu kompleksnya persoalan korupsi dampaknya akan
merongrong sendi kebangsaan. Layaknya virus, pelan tapi pasti akan meruntuhkan
bangsa ke jurang kehancuran. Satu kenyataan yang begitu memiriskan hati
mengingat founding fathers bangsa ini memimpikan Indonesia bersih dari
segala bentuk praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Apa jadinya bangsa
ini jika tahun-tahun selanjutnya praktik korupsi justru semakin bertambah.
Semoga saja tidak!
Tumbuhnya budaya korupsi, pernah dirumuskan
oleh ICW dengan mengemukakan mengapa korupsi dilakukan dengan menyebutkan 9
(sembilan) penyebab korupsi adalah:
1.Sifat konsumtif (hidup
bermewah-mewah)
2.Sifat individualisme.
3.Gaji kecil.
4.Disiplin aparat rendah.
5.Atasan memulai korupsi.
6.Sanksi hukum ringan.
7.Birokrasi bertele-tele.
8.Tidak ada pengawasan (pengawasan
tidak efektif)
9.Kesadaran bahaya korupsi rendah.
Kembali ke pertanyaan di awal, akankah Indonesia bersih dari
korupsi pasca pemilu 2014? Jawabnya, mungkin saja. Ya, mungkin saja jika
praktik korupsi bisa diberantas secara simultan. Namun harus diingat bahwa
memberantas korupsi yang demikian kompleks bukanlah pekerjaan mudah. Butuh
pendekatan strategis dan multilevel, tidak bisa lagi dengan cara linear dan
biasa-biasa saja. Karena itu ada beberapa cara yang bisa dilakukan, diantaranya
:
Pertama, membangun Indonesia Baru yang berbudaya anti
korupsi , dengan menanamkan sikap ujur, dan kerja keras, yang dimulai
dari Presiden RI dan dari setiap keluarga dalam rumah tangga.
Kedua,
pendekatan struktural berarti semua perangkat hukum dari Polri, KPK dan
Kejaksaan harus sinergi dalam memberantas korupsi. Komitmen besama dan sinergi
antarketiga lembaga hukum tersebut akan menjadi benteng kokoh dan kekuatan
besar untuk menghapus praktik kejahatan korupsi di negeri ini. Hukum harus
ditempatkan sebagai paglima dan tanpa memihak sehingga tidak mengesankan
hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Siapa pun yang korupsi, rakyat
rendahan ataupun kalangan elite, harus diproses sesuai hukum yang berlaku.
Tidak ada yang istimewa di depan hukum, semuanya sama. Bersamaan dengan
itu pula, sanksi yang diberikan kepada koruptor harus pantas dan memberikan
efek jera. Jika ini dilakukan, kita yakin peluang Indonesia bebas dari korupsi
terbuka lebar.
Ketiga, membangun kebiasaan hidup sederhana, yang dimulai dari
Presiden RI dan dari setiap keluarga.
Keempat,
tauladan yang baik dan benar dari
para pemimpin. Selama ini, kita sulit menemukan pemimpin-pemimpin yang bisa
memberikan contoh bagi rakyatnya. Kita justru melihat begitu bobroknya perilaku
para pemimpin yang tak jarang juga mengkorupsi uang rakyatnya sendiri.
Bagaimana mungkin korupsi bisa diberantas kalau para pemimpinnya justru
melakukan korupsi.
Kelima, mengutamakan
pembangunan yang berpusat pada rakyat, dengan membangun pencerdasan
kehidupan bangsa, karakter, akhlak, moralitas bangsa, keadilan dan kemanusiaan
(humanity).
Keenam, mengamalkan
pembukaan UUD 1945 yang merupakan tujuan kita merdeka, berbangsa dan bernegara
serta sila-sila dari Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Jika keenam cara diatas dilaksanakan mungkin
akan sedikit mungurangi volume kasus korupsi sehingga dapat menciptakan Indonesia
baru ini sejahtera dengan demokrasi anti korupsi.